Rabu, 10 Desember 2008

Keberanian

Saudara yang paling dekat dari naluri kepahlawanan adalah keberanian. Pahlawan sejati selalu merupakan seorang pemberani sejati. Tidak akan pernah seseorang disebut pahlawan, jika ia tidak pernah membuktikan keberaniannya. Pekerjaan-pekerjaan besar atau tantangan-tantangan besar dalam sejarah selalu membutuhkan kadar keberanian yang sama besarnya dengan pekerjaan dan tantangan itu. Sebab, pekerjaan dan tantangan besar itu selalu menyimpan resiko. Dan, tak ada keberanian tanpa resiko.

Naluri kepahlawanan adalah akar dari pohon kepahlawanan. Akan tetapi, keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa, yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas, baik tindakan maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan resiko yang akan diterimanya.

Cobalah perhatikan ayat-ayat jihad dalam Al-Quran. Perintah ini hanya dapat terlaksana di tangan para pemberani. Cobalah perhatikan betapa Al-Quran memuji ketegaran dalam perang, dan sebaliknya membenci para pengecut dan orang-orang yang takut pada resiko kematian. Apakah yang dapat kita pahami dari hadis riwayat muslim ini, "Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada dibawah naungan pedang?" Adakah makna lain, selain dari kuatnya keberanian akan mendekatkan kita ke surga? Maka, dengarkanlah pesan Abu Bakar kepada tentara-tentara Islam yang berperang, "Carilah kematian, niscaya kalian akan mendapatkan kehidupan."

Sebagian dari keberanian itu adalah fitrah yang tertanam dalam diri seseorang. Sebagian yang lain biasanya diperoleh melalui latihan. Keberanian, baik yang bersumber dari fitrah maupun melalui latihan, selalu mendapatkan pijakan yang kokoh pada kekuatan kebenaran dan kebajikan, keyakinan dan cinta yang kuat terhadap dan jalan hidup, kepercayaan pada akhirat, dan kerinduan yang menderu-deru kepada Allah. Semua itu adalah mata air yang mengalirkan keberanian dalam jiwa seorang mukmin. Bahkan, meskipun kondisi fisiknya tak terlalu mendukungnya, seperti jenis keberanian Ibnu Masud dan Abu Bakar. Sebaliknya, ia bisa menjadi lebih berani dengan dukungan fisik, seperti keberanian Umar, Ali, dan Khalid.

Akan tetapi, Islam hendak memadukan antara keberanian fitrah dan keberanian iman. Maka, beruntunlah ajaran-ajarannya menyuruh umatnya melatih anak-anak untuk berenang, berkuda, dan memanah. Dengarlah sabda Rasulullah saw, "Ajarilah anakmu berenang sebelum menulis. Karena ia bisa diganti orang lan jika ia tak pandai menulis, tapi ia tidak dapat diganti orang lain jika ia tak mampu berenang."

Dengar lagi sabdanya, "Kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memenah, kekuatan itu pada memanah." Itu semua sekelompok keterampilan fisik yang mendukung munculnya keberanian fitrah. Tinggal lagi keberanian iman. Maka, dengarlah nasihat Umar, "Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani."

Dan kepada orang-orang Romawi yang berlindung di balik benteng di Kinasrin, Khalid berkata, "Andaikata kalian bersembunyi di langit, niscaya kuda-kuda kami akan memanjat langit untuk membunuh kalian. Andaikata kalian berada di perut bumi, niscaya kami akan menyelami bumi untuk membunuh kalian. " Roh kebereranian itu pun memadai untuk mematikan semangat perlawanan orang-orang Romawi. Mereka takluk. Mungkinkah kita mendengar ungkapan itu lagi hari ini?


Sumber:
Mencari Pahlawan Indonesia

.

Jumat, 05 Desember 2008

Naluri Kepahlawanan

Pekerjaan-pekerjaan besar dalam sejarah hanya dapat diselesaikan oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Tantangan-tantangan besar dalam sejarah hanya dapat dijawab oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Itulah sebabnya kita menyebut para pahlawan itu orang-orang besar.

Itu pula sebabnya mengapa kita dengan sukarela menyimpan dan memelihara rasa kagum kepada para pahlawan. Manusia berhutang budi kepada para pahlawan mereka. Dan kekaguman adalah sebagian dari cara meeka membalas utang budi.

Mungkin, karena itu pula para pahlawan selalu muncul di saat-saat yang sulit, atau sengja dilahirkan di tengah situasai yang sulit. Mereka datang untuk membawa beban yang tak dipikul oleh manusia-manusia di zamannya. Mereka bukanlah kiriman gratis dari langit. Akan tetapi, sejarah kepahlawanan mulai dicatat ketika naluri kepahlawanan mereka merespon tantangan-tantangan kehidupan yang berat. Ada tantangan dan ada jawaban. Dan hasil dari respon itu adalah lahirnya pekerjaan-pekerjaan besar.

Tantangan adalah stimulan kehidupan yang disediakan Allah untuk merangsang munculnya naluri kepahlawanan dalam diri manusia. Orang-orang yang tidak mempunyai naluri ini akan melihat tantangan sebagai beban berat, maka mereka menghindarinya dan dengan sukarela menerima posisi kehidupan yang tidak terhormat. Namun, orang-orang yang mempunyai naluri kepahlawanan akan mengatakan tantangan-tantangan kehidupan itu: Ini untukku. Atau seperti ungkapan orang-orang shadiq dalam perang Khandaq yang diceritakan Al-Quran,

Dan tatkala orang-orang beriman melihat golongan-golongan yang saling bersekutu itu, (dalam menghadapi orang-orang beriman), mereka berkata, "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita". Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka, kecuali iman dan ketundukkan. (Al-Ahzab: 22)

Naluri kepahlawanan lahir dari rasa kagum yang dalam kepada kepahlawanan itu sendiri. Hal itu akan menggoda sang pengagum untuk melihat dirinya sembari bertanya, Apa engkau dapat melakukan hal yang sama? Dan jika ia merasa memiliki kesiapan-kesiapan dasar, maka ia akan menemukan dorongan yang kuat untuk mengeksplorasi segenap ptensinya untuk tumbuh dan berkembang. Jadi, naluri kepahlawanan adalah kekuatan yang mendorong munculnya potensi-potensi tersembunyi dalam diri seseorang, kekuatan yang berada di balik pertumbuhan ajaib kepribadian seseorang.

Dalam serial Jenius-jenius Islam, Abbas Mahmud Al-Aqqad menemukan kunci kepribadian Abu Bakar As-Shidiq dalam kata kekaguman kepahlawanan. Kunci kepribadian, kata Al-Aqqad, adalah perangkat lunak yang dapat menyingkap semua tabir kepribadian seseorang. Ia berfungsi seperti kunci yang dapat membuka pintu dan mengantar kita memasuki semua ruang dalam rumah itu. Dan kita hanya dapat memahami pekerjaan-pekerjaan besar yang telah diselesaikan Abu Bakar dalam kunci rahasia ini. Apakah anda juga memiliki kunci rahasia itu? Saya tidak tahu.


Sumber:
Mencari Pahlawan Indonesia

.

O, Pahlawan Negeriku

"Di masa pembangunan ini", kata Chairil Anwar mengenang Diponegoro, "Tuan hidup kembali. Dan bara kagum menjadi api".

Kita selalu berkata jujur kepada nurani kita ketika kita melewati persimpangan jalan sejarah yang curam. Saat itu kita merindukan pahlawan. Seperti Chairil Anwar tahun itu, 1943, yang merindukan Diponegoro. Seperti juga kita saat ini. Saat ini benar kita merindukan pahlawan itu. Karena krisis demi krisis telah merobohkan satu per satu sendi bangunan negeri kita. Negeri ini hampir seperti kapal pecah yang tak jemu-jemu dihantam gunungan ombak.

Ditengah badai ini kita merindukan pahlawan itu. Pahlawan yang, kata Sapardi, "Telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menerah". Pahlawan yang, kata Chairil Anwar, "berselempang semangat yang tak bisa mati". Pahlawan yang akan membacakan "Pernyataan" Mansur Samin:

Demi amanat dan beban rakyat
Kami nyatakan keseluruh dunia
Telah bangkit ditanah air
Sebuah aksi kepahlawanan
Terhadap kepalsuan dan kebohongan
Yang bersarang dalam kekuasaan
Orang-orang pemimpin gadungan


Maka datang jugalah aku kesana, akhirnya. untuk kali pertama. Ke Taman Makam Pahlawan, di Kalibata. Seperti dulu aku pernah datang kemakam para sahabat Rosululloh saw di Baqi' dan Uhud, di Madinah. Karena kerinduan itu. Dan kudengar Chairil Anwar seperti mewakili mereka :

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Tulang-tulang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka? Ataukah tak lagi ada wanita di negeri ini yang mampu melahirkan pahlawan? Seperti wanita-wanita Arab yang tak lagi mampu melahirkan lelaki seperti Khalid bin Walid? Ataukah tak lagi ada ibu yang mau, seperti kata Taufik Ismail di tahun 1966, "Merelakan kalian pergi berdemonstrasi... karena kalian pergi menyempurnakan... kemerekaan ini".

Tulang belulang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka? Ataukah, seperti kata Sayyid Quthub, "Kau mulai jemu berjuang, lalu kau tinggalkan senjata dari bahumu?"

Tidak! Kaulah pahlawan yang kurindu itu. Dan beratus jiwa di negeri sarat nestapa ini. Atau jika tidak, biarlah kepada diriku saja aku berkata : "Jadilah pahlawan itu".


Sumber:
Mencari Pahlawan Indonesia

.

Rabu, 03 Desember 2008

Pesan Untuk Orang-orang Biasa

Kumpulan tulisan ini adalah anak-anak zamannya. Lahir saat badai menerpa seluruh sisi kehidupan bangsa kita. Kumpulan tulisan ini adalah kerja kecil untuk tetap mempertahankan harapan dan optimisme kita ditengah badai itu.

Krisis adalah takdir semua bangsa. Ia tidak perlu disesali. Apalagi dikutuk. Kita hanya perlu meyakini sebuah kaidah, bahwa masalah kita bukan pada krisis itu terjadi. Itu tanda kelangsungan hidup atau kehancuran sebuah bangsa.

Pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan kebumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian kembali kelangit. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang, sampai waktu mereka habis.

Mereka tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa. Mereka bukan malaikat. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil jadi sebuah gunung: karya kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam masa yang lama.

Orang-orang biasa yang melakukan kerja-kerja besar itulah yang kita butuhkan di saat krisis. Bukan orang-orang yang tampak besar tapi hanya melakukan kerja-kerja kecil lalu menulisnya dalam autobiografinya. Semangat untuk melakukan kerja-kerja besar dalam sunyi yang panjang itulah yang dihidupkan kumpulan tulisan ini. Maka tulisan-tulisan ini mencoba menghadirkan makna-makna yang melatari sebuah tindakan kepahlawanan. Bukan sekedar cerita heroisme yang melahirkan kekaguman tapi tidak mendorong kita meneladaninya.

Para pahlawan bukan untuk dikagumi. Tapi untuk diteladani. Maka makna-makna yang melatari tindakan mereka yang perlu dihadirkan ke dalam kesadaran kita. Jadi tulisan-tulisan ini adalah pesan untuk orang-orang biasa, seperti saya sendiri, atau juga anda para pembaca, yang mencoba dengan tulus memahami makna-makna itu, lalu secara diam-diam merakit kerja-kerja kecil menjadi sebuah gunung karya.

Sukses blog ini tidak perlu diukur dengan tiras besar. Tapi jika ada satu-dua hati yang mulai tergerak, dan mulai bekerja, saya akan cukup yakin berdoa kepada Allah: "Ya Allah, Jadikanlah kerja kecil ini sebagai kendaraan yang akan mengantarku menuju ridha dan surga-Mu.



Sumber:
Mencari Pahlawan Indonesia

.

Taufiq Ismail

"Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, agar anak yang pengecut jadi pemberani"
(Nasihat Umar Bin Khathab)

Kerisauan pengarang artikel ini, ialah bahwa ketika akhir-akhir ini krisis besar melanda negeri, "kita justru mengalami kelangkaan pahlawan". Memang itu sama kita rasakan. Lebih risau lagi Anis Matta selanjutnya memperkirakan bahwa dengan demikian telah tampak "isyarat kematian sebuah bangsa". Tapi jangan, janganlah kiranya malapetaka sakaratulmaut itu terjadi.

Pahlawan yang didambakan Anis bukan saja pahlawan yang membebaskan bangsa dari krisis besar atau pahlawan di medan peperangan gawat, tapi jauh lebih luas lagi bentangannya - pahlawan dunia pemikiran, pendidikan, keilmuan, pebisnis, kesenian dan kebudayaan. Demikianlah esensi renungan yang dapat kita tangkap dari himpunan 76 kolom Serial Kepahlawanan majalah tarbawi ini.

Bacaanya yang luas dalam sejarah kepahlawanan dunia islam memungkinkan pengarang membentangkan panorama tarikh sejak zaman Rasulullah sampai masa kini secara informatif dalam kemasan kolom ringkas dan padat, sependek 400-500 kata. Tidak mudah menulis ringkas bernas, seperti juga tidak gampang bicara pendek padat makna. Menulis panjang bertele-tele dan berbual berlama-lama, mudah. Kolom-kolom alit Anis ini sedap dibaca, bahasanya terpelihara, puitis disana-sini, pilihan judul mengena, metaforanya cerdas, pesannya jelas, dan disampaikan dengan rendah hati.
  • Menurut Anis, sejarah sesungguhnya "merupakan industri para pahlawan." Dalam "skala peradaban" setiap bangsa bergiliran "merebut piala kepahlawanan." Mereka selalu muncul disaat-saat sulit, atau sengaja (Allah) lahir (kan mereka) ditengah situasi yang sulit. Pahlawan sejati senantiasa pemberani sejati. Keberanian itu fitrah tertanam pada diri seseorang, atau diperoleh melalui latihan. Keduanya ini berpijak kuat pada keyakinan dan cinta yang kuat terhadap prinsip dan jalan hidup, kepercayaan pada hari kiamat, dan kerinduan yang menderu-deru untuk bertemu Allah. Dengarlah nasihat Umar bin Khathab: "Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani."
  • Pahlawan dari generasi sahabat punya daya cipta sarana materi di tiga wilayah: di medan perang, dalam percaturan politik dan di dunia bisnis. Abu Bakar dan Utsman bin Affan biasa menginfakkan total hartanya, bukan sekedar marginnya, untuk memulai usaha dari nol kembali, karena mereka yakin pada kemampuan daya cipta sarana materi mereka. Umar bin Khathab dan Abdurrahman bin Auf selalu menyedekahkan 50% hartanya untuk ummat. Umar bin Khathab dan Khalid bin Walid : keduanya adalah petarung sejati, pemimpin sejati dan juga pebisnis sejati. Berkata Umar: "Tak ada pekerjaan yang paling aku senangi setelah perang dijalan Allah, selain dari bisnis." Ini menjelaskan mengapa generasi sahabat bukan hanya mampu memenangkan seluruh pertempuran, tapi juga mampu menciptakan kemakmuran setelah mereka berkuasa.
  • Pahlawan mukmin sejati tidak membuang energi mereka untuk memikirkan apakah ia akan ditempatkan dalam sejarah manusia, apakah ia akan ditempatkan dalam liang lahat Taman Pahlawan. Yang mereka pikirkan ialah bagaimana meraih posisi paling terhormat di sisi Allah swt. Kata kunci mencapai ini adalah keikhlasan. Inilah yang membedakan mereka dengan pahlawan sekuler. Sama memderita masuk penjara, sama terbuai di tiang gantungan, tapi yang satu karena dunia fana, dan yang satu lagi karena Allah semata.

Tiga butir pikiran Anis Matta di tiga paragraf di atas, saya kutipkan untuk cicipan awal para pembaca sebelum menikmati sendiri hidangan kumpulan kolom yang ladzidz jiddan ini. Tapi Anis tidak selalu serius, dia sesekali bisa juga melucu.

Di kolom "Sahabat Sang Pahlawan" dikisahkannya pahlawan ilmu dan sastra kita, Buya Hamka, yang datang bersama istri beliau ke sebuah majelis, memenuhi undangan ceramah. Tiba-tiba, tanpa diduga, protokol juga mempersilahkan istri beliau untuk berceramah. Ini dilakukan dengan sangkaan baiksaja: istri sang ulama mungkin juga memiliki ilmu yang sama. Dan, istri beliau benar-benar naik kepodium. Buya Hamka terhenyak. Tapi itu cuma satu menit. Setelah memberi salam, istri beliau berkata: "Saya bukan penceramah. Saya hanya tukang masak untuk sang penceramah."

Semoga menikmati blog Mencari Pahlawan Indonesia ini. Semoga, seperti yang disebutkannya dalam kolom paling akhir, yang dicari itu "bahkan sudah ada disini. Mereka hanya belum memulai. Mereka hanya perlu berjanji merebut takdir kepahlawanan mereka."

Mudah-mudahanlah begitu.


Sumber:
Mencari Pahlawan Indonesia

Selasa, 02 Desember 2008

Daftar Isi

Judul : Mencari Pahlawan Indonesia
Ukuran :
Berat :
Penebit : The Tarbawi Center
Harga : Rp 28.000,-
Discount : 50%
Agen : www.futuh.com


Pengantar Taufiq Ismail
Pesan Untuk Orang-orang Biasa
  1. O, Pahlawan Negeriku
  2. Keberanian
  3. Kesabaran
  4. Pengorbanan
  5. Kompetisi
  6. Filosofi
  7. Optimisme
  8. Pekerjaan Besar dan Pekerjaan Kecil
  9. Vitalitas
  10. Menilai Diri Sendiri
  11. Momentum Kepahlawanan
  12. Keunikan
  13. Kesempurnaan
  14. Sahabat Sang Pahlawan
  15. Determinasi Sosial
  16. Di Balik Keharuman
  17. Kegagalan
  18. Musibah
  19. Kesalahan
  20. Kekalahan
  21. Imajinasi
  22. Syubhat Mimpi
  23. Firasat
  24. Keterhormatan
  25. Aib Kepahlawanan
  26. Sensitifitas Kepahlawanan
  27. Jenak-jenak Kejujuran
  28. Sinergi Kecerdasan
  29. Siasat Pengalihan
  30. Seni Ketidakmungkinan
  31. Setelah Legenda
  32. Kemanjaan
  33. Pahlawan Melankolik
  34. Apresiasi
  35. Sukses Kecil ke Sukses Besar
  36. Kepahlawanan Kolektif
  37. Jebakan Massa
  38. Tekanan
  39. Karunia Kegagalan
  40. Keluarga Pahlawan
  41. Pewarisan
  42. Menanti Kematangan
  43. Pusat Keunggulan
  44. Bayangan Sang "Icon"
  45. Nila
  46. Muara Peradaban
  47. Pahlawan Kebangkitan
  48. Pahlawan Kejayaan
  49. Keterbatasan
  50. Di Antara Reruntuhan
  51. Perempuan Bagi Pahlawan
  52. Gairah yang Membuat Tenang
  53. Tragedi Cinta
  54. Kebutuhan, Bukan Ketergantungan
  55. Cinta di Atas Cinta
  56. Harta Bagi Pahlawan
  57. Daya Cipta Material
  58. Tangan Dingin Sang Zahid
  59. Pahlawan Tanpa Harta
  60. Bisnis Kehormatan
  61. Kejutan Sang Dinar
  62. Sentuhan Keberkahan
  63. Kekuasaan Bagi Pahlawan
  64. Jihadnya Jihad
  65. Pendiri Imperium
  66. Pemburu Akhirat
  67. Kekuasaan Spiritual
  68. Amuk Mimpi
  69. Jebakan Megalomania
  70. Ketinggian dari Kerendahan
  71. Karnaval Jiwa-Jiwa
  72. Generasi Kepahlawanan
  73. Sang Guru
  74. Ancaman Kesia-siaan
  75. Mencari Pahlawan Indonesia


Sumber:
Mencari Pahlawan Indonesia - Anis Matta

.